A.
LATAR
BELAKANG
Saat ini, Pada akhir abad kedua puluh, serangkaian
data baru ilmiah yang sejauh ini belum banyak dibahas, menunjukkan adanya “Q”
jenis ketiga. Kecerdasan spiritual di sini diartikan kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan yang
menentukan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
lebih, kecerdasaan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan Intelektual quation IQ dan EQ
secara efektif dan merupakan jenis pemikiran yang memungkinkan kita menata
kembali dan menstranformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan IQ dan EQ.[1]
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah
Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada
tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S Ramachandran pada tahun
1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia. Yang sudah secara built-in
merupakan pusat spiritual. Dan God Spot inilah pada giliranya melahirkan konsep
kecerdasan spiritual yaitu suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha
memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna.[2]
Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang
mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan
dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.
Sehingga orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan
memberi makna positif pada peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialami.
Dengan memberi makna yang positif ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan
perbuatan dan tindakan yang positif.
Dan dalam kehidupan manusia pun sejak
awal hingga sekarang selalu mengalami perubahan-perubahan, baik pada fisik
jasmani, maupun mentalnya, baik perubahan negatif maupun positif. Remaja
misalnya, yang merupakan bagian dari masyarakat adalah komunitas yang paling
rentan dalam menerima perubahan tersebut. Karena pada masa ini yaitu masa
memasuki fase pencarian jati diri, jika dalam fase ini remaja tidak diimbangi
dengan kokohnya benteng moral dan agama, maka sudah pasti bisa mengarah
kehidupan yang menyimpang.
Bagi para ahli Rubington
dan Weinberg yang telah dikutip dalam Jokie Siahaan bahwa “masalah sosial atau
menyimpang adalah pelanggaran terhadap harapan moral, Penyimpangan adalah
kesakitan atau menyimpang dar norma sehat yang telah ditetapkan oleh banyak
orang”.
Asumsi pendekatan ini
didasari oleh keyakinan bahwa ada kondisi sakit tertentu dalam masyarakat dan
individu tertentu yang sakit. Lama-kelamaan berkembang pandangan bahwa
kondisi-kondisi seperti sakit, keterbelakangan mental, mabuk, tidak
berpendidikan dan tidak bermoral karena kemiskinan adalah patologi social yang
kemudian dikenal sebagai penyimpangan.[3]
Dalam
kehidupan remaja banyak perilaku penyimpangan, pada hal ini kenakalan remaja
tergolong dalam perilaku menyimpang pada remaja. Pada arti bahasa Inggris Juvenile Deliquent yang bermakna remaja
yang nakal, Juvenile berarti anak muda dan deliquent berarti perbuatan salah
atau perilaku menyimpang.[4]
Dan menurut Zakiah Drajat mengatakan bahwa kenakalan merupakan sebuah ekspresi
dari tekanan jiwa atau psikologis, dengan memberi batasan tentang kenakalan
remaja sebagai sebuah ungkapan dari ketenangan perasaan, kegelisahan dan
kecemasan atau tekanan batin (frustasi).[5]
Dengan
demikian nampak jelas bahwa apabila seorang anak masih berada dalam fase-fase
usia remaja kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum, sosial,
susila dan agama, maka perbuatan anak tersebut dapat digolongkan ke dalam
kenakalan remaja (juvenile delinquency).[6]
Dan mayoritas juvenile delinquency berusia
di bawah 21 tahun. Angka tertinggi
tindak kejahatan ada pada usia 15-19 tahun. Sehingga sesudah umur 22 tahun
kasus kejahatan yang dilakukan oleh gang-gang deliquency menjadi menurun.[7]
Melihat rentan usia anak pada 15-19
tahun menjadi angka tertinggi tindak kejahatan
maka, peneliti menemukan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dalam
sekolah seperti yang sudah dibahas diatas mengenai perilaku menyimpang atau
kenakalan remaja. Sebagai sekolah yang menjadi sarana pendidikan bukan hanya
pengetahuan saja namun nilai moral juga didapat dari sekolah. Tetapi masih
banyak juga peserta didik yang menyimpang dari aturan-aturan yang sudah
ditetapkan oleh sekolah. Dalam contohnya saja siswa mencontek, terlambat masuk
sekolah, tidak melengkapi atribut sekolah, mencuri, berbohong, berkelahi sesama
teman, tidak masuk tanpa keterangan, dan membolos saat jam pelajaran
berlangsung.
Beberapa
yang menjadi factor penyebab terjadinya anak menjadi berperilaku menyimpang dari
faktor internal yaitu gangguan berfikir dan intelegensi, gangguan pada
pengamatan, reaksi frustasi negatif. Sedangkan faktor eksternal yaitu
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.[8]
Diketahui faktor penyebab dari perilaku menyimpang bahwa dalam faktor internal
terdapat gangguan berfikir dan intelegensi kecerdasan IQ, EQ, SQ pada anak.
Peneliti menjadikan gangguan intelegensi atau kecerdasan SQ menjadi variabel
pengaruh dalam perilaku menyimpang pada remaja.
Melihat beberapa penyimpangan pada
remaja terutama dalam lingkup sekolah dengan melanggar aturan-aturan yang sudah
ditetapkan. Maka dapat dilihat juga ada hubungannya dengan kecerdasan spiritual
anak, karena anak-anak yang tidak memiliki kecerdasan spiritual mudah
terjangkit krisis spiritual keterasingan spiritual (spiritual alienation, patologi spiritual (spiritual pathology), dan penyakit spiritual. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Peter Benson
dengan pandangan umum bahwa agama spiritualitas sedikit dipahami oleh
masyarakat namun sangat dibutuhkan karena masalah remaja dapat dipahami juga
sebagai masalah spiritualitas. Dengan studi tersebut mengungkapkan bahwa
benar-benar berjalan dan telah terindentifikasi untuk mengurangi kesehatan
kompromi Behavior seperti masalah remaja, kekerasan, pergaulan remaja,
penggunaan narkoba, minuman keras.[9]
jika dihubungkan dengan kecerdasan
spiritual akan menunjukkan betapa peran kecerdasan spiritual sangan penting dan
efektif dalam membimbing anak untuk menghadapi kenakalan remaja. Jiwa remaja
akan semakin kuat sehingga memiliki ketangguhan untuk mengahadapi segala
tantangan dan hambatan dalam hidup ini. Sungguh sangat mengerikan jika remaja
kita kosong secara spiritual, dikuasai dorongan hawa nafsu angkara murka yang
pada akhirnya akan menghancurkan masa depan itu sendiri. Jika melihat remaja
yang mengalami kehampaan dan kekosongan spiritual, akan hidup dalam perilaku
menyimpang, mereka mudah merusak milik orang lain.[10]
Dari uraian di atas mengenai pentingnya Kecerdasan Spiritual
(SQ) bagi remaja serta penilaian perilaku dimasa modern ini, penulis melakukan
penelitian siswa di SMA Negeri 7 Kota Kediri yang sudah terdapat tata tertib
dengan terdapat poin-point tertentu sebagai pelanggaran remaja yang nakal atau
menyimpang dan melihat lingkungan sekolah yang cukup favorit di mata masyarakat, namun tetap saja masih terdapat
kenakalan remaja pada sekolah. Maka peneliti terdorong untuk melakukan
penelitian dengan judul : “HUBUNGAN TINGKAT KECERDASAN SPIRITUAL (SQ)
DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMA NEGERI 7 KOTA KEDIRI TAHUN AJARAN 2014/2015.”
B.
RUMUSAN MASALAH
Untuk mempertajam dan memberikan batasan penelitian yang
jelas, maka penulis membuat beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
tingkat Kecerdasan Spiritual (SQ) pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun
Ajaran 2014/2015?
2. Bagaimana
keadaan siswa pada kenakalan remaja di SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran
2014/2015?
3. Adakah
Hubungan antara tingkat Kecerdasaan Spiritual (SQ) dengan kenakalan remaja
siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah yang
diajukan, makan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat Kecerdasan
Spiritual (SQ) pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015.
2. Untuk mengetahui kenakalan remaja
pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015.
3. Untuk mengetahui adakah hubungan
Tingkat Kecerdasaan Spiritual (SQ) dengan kenakalan remaja pada siswa SMA
Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015.
D.
MANFAAT
PENELITIAN
Hasil ini diharapkan dapat memberikan
manfaat secara praktis maupun teorotik yaitu:
1. Secara
Teoritik
Diharapkan
dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan pendidikan yang diperoleh dari
penelitian lapangan. Khususnya untuk umpan balik dalam mengungkap kecerdasan
spiritual anak terhadap perilaku menyimpang anak pada siswa SMA Negeri 7 Kota
Kediri
2. Secara
Praktis
a. Bagi
Peserta Didik, sebagai pengendalian perilaku sehingga kenakalan remaja di
sekolah tidak semakin meningkat.
b. Bagi
Pendidik, sebagai pembelajaran menghadapi kenakalan remaja di sekolah. Terutama
untuk pendidik Agama Islam bisa membantu meningkatkan kecerdasan spiritual agar
jiwa peserta didik menyelesaikan masalah tanpa menjadikan kenakalan remaja suatu
solusi.
c. Bagi
Lembaga Pendidik, sebagai masukan yang positif terhadap penyelesaian kenakalan
remaja di sekolah.
d. Bagi
Penulis, dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan ilmu pengetahuan
dalam pentingnya kecerdasan spiritual pada peserta didik, serta menjadi rujukan
dalam kegiatan penelitian pengembangan di waktu mendatang.
e. Bagi
Orang Tua, dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan masukan dalam membimbing
perilaku anaknya di lingkungan keluarga.
f. Bagi
Peneliti Lanjutan, sebagai kontribusi pemikiran bagi para ilmuan yang akan
datang yang ingin meneliti lebih lanjut.
E.
TELAAH
PUSTAKA
Pada penelitian ini, peneliti melakukan
kajian terhadap hubungan kecerdasan spiritual (SQ) dengan perilaku menyimpang
pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri. Yang dimana terdapat variabel X yaitu
kecerdasan spiritual dan variabel Y yaitu kenakalan remaja.
Para ahli yang meneliti penyimpangan
mengahadapi definisi tentang orang, perilaku, dan kondisi penyimpangan yang
sangat beragam. Sebagaimana dalam
kategori Stafford dan Scott ahli social yang telah
dikutip
Jokie M.S:
Mengajukan
daftar sementara tentang kondisi yang dianggap menyimpang, seperti tua, lumpuh,
kanker, kecanduan obat, sakit jiwa, cebol, berkulit hitam, alkoholik, perokok,
pelaku kejahatan, homoseksualitas, pengangguran, buta, epilepsi, pengemis, buta
huruf, bercerai, buruk rupa, gagap, keterbelakangan mental, dan tuna rungu.
Daftar tersebut meliputi perilaku (misalnya perilaku kejahat), kondisi
(misalnya buruk rupa), jenis orang (misalnya gelandangan), dan keterpaksaan.[11]
Pada
pandangan Absolutisme mengenai pengertian perilaku menyimpang, juga mengasumsikan bahwa masyarakat
memiliki aturan atau dasar yang jelas dan anggotanya sepakat tentang perilaku
yang dianggap menyimpang karena acuan perilaku normal diterima secara luas.
Definisi absolutisme ini masih dianut
sampai sekarang, terutama oleh pakar para psikologi dan psikiater yang
menganggap penyimpangan adalah kondisi sakit secara medis.[12]
Dan pada
penelitian Robyn Mapp Peran Religiusitas dan Spiritualitas dengan Kenakalan
Remaja dalam uji sampel pada anak remaja. Dengan menggunakan analisis Probit, data dari 2005
Transisi untuk dewasa suplemen untuk panel study dinamika pendapat. Sebanyak
745 remaja yang diwawancarai melalui telephone kemudian dengan pembersihan data
yang sesuai sampel terdiri 684 remaja usia 18-22 tahun.
Dengan hasil ada 545 remaja,
atau 80 persen dari sampel, yang agama
berafiliasi, dan 139 remaja yang mengatakan bahwa mereka tidak beragama, yang
atheis. Ada 178 remaja, atau 26 persen, yang dihadiri ibadah setidaknya
sekali minggu, dan 506 orang yang
menghadiri ibadah jarang atau tidak sama sekali. 195 remaja (28,51 persen)
tidak menganggap agama penting, sedangkan 489
remaja memang menganggap agama menjadi agak atau sangat penting. Untuk
pentingnya spiritualitas, 313 remaja mengangap spiritual
tidak penting dan sebanyak 371 menganggap spiritual penting bagi anak remaja.[13]
Pada permasalahan ini maka permasalahan
remaja ini masuk dalam tipe delikuensi
defek moral, defek yang artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Dengan
ciri-ciri selalu melakukan tindakan asosial atau anti sosial, walaupun pada
dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif, namun ada disfungsi
pada intelegensinya. Pada penelitian yang dikutip oleh Kartini Kartono
“penelitian terhadap 10000 kasus kejahatan kelas berat di New York pada tahun
1960 kurang lebih 20% dari para penjahat adalah abnormal secara mental, yaitu
7% psikopatis, 10% neurotis, 2% defisian mental, 1%psikotis/gila.”[14]
Kebanyakan dari mereka itu adalah anak-anak muda berkisar dari usia 14-30
tahun. Kasus mental defek dan psikopatis semakin bertambah dari tahun ketahun.
40% lainya menampilkan penyampingan pada struktur kepribadianya, antara lain
bersifat agresif, labil emosi, amat malas, indolent secara psikis, dan
lain-lain.
Dengan gangguan
kesehatan jiwa sebagian besar disebabkan oleh tekanan, pengalaman-pengalaman
emosional dan konflik batin. Secara psikologis kondisi ini akan berakibat pada persepsi buruk
terhadap dirinya dan orang lain, perilaku yang menyimpang, dan perasaan tidak
bahagia. Tiga keadaan ini pada akhirnya melemahkan kemampuan si sakit dalam
membuat keputusan secara umum, melaksanakan tanggung jawabnya dengan efisien
dan membina hubungan yang harmonis dengan sesama.[15]
F.
KAJIAN
TEORITIK
Teori merupakan seperangkat konstruk atau variabel
yang saling berhubungan, yang berasosiasi dengan proposisi atau hipotesis yang
merinci hubungan antar variabel. Suatu teori dalam penelitian bisa saja
berfungsi sebagai argumen, pembahasan, atau alasan.[16]
a. Pengertian
Kecerdasan Spiritual
Danah
Zohar dan Ian Marshall
Menjelaskan bahwa
kecerdasan spiritual kecerdasan adalah kecerdasan jiwa untuk dapat membantu
kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh dan merupakan fasilitas
yang berkembang yang memungkinkan otak menemukan dan memecahkan masalah.[17]
Abdul wahid Hasan
Mengemukakan
bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang digunakan untuk menyelesaikan
permasahan hidup yang dihadapi, manusia dituntut untuk kreatif mengubah
penderitaan menjadi semangat (motivasi) hidup yang tinggi sehingga penderitaan
berubah menjadi kebahagiaan hidup. Manusia harus mampu menemukan makna
kehidupannya.[18]
Marsha
Sinetar
Kecerdasan spiritual
adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang
terinspirasi, theisness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua
menjadi bagian.[19]
Khalil
Khavari
Kecerdasan spiritual
merupakan fakultas dari dimensi nonmaterial kita-ruh manusia. Inilah intan yang
belum terasah yang kita semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa
adanya, menggosokkannya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan
menggunakanya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan
lainya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Akan
tetapi, kemampuanya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas.[20]
Maka
secara garis besar kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan yang
menentukan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas. Dalam
hal ini apabila pada diri manusia tidak terdapat kecerdasan spiritual akan
mudah terjangkit krisis spiritual dan merupakan penyakit-penyakit jiwa manusia
modern.
b. Indikator
Kecerdasan Spiritual
Sehubungan
dengan kecerdasan spiritual yang tinggi, terdapat beberapa ciri atau indicator
sebagai berikut :
1. Kemampuan
bersikap fleksibel, yaitu mampu beradaptasi secara aktif dan spontan.
2. Tingkat
kesadaran yang dimiliki tinggi.
3. Kemampuan
untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan dan mengambil hikmah darinya.
4. Memiliki
kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit.
5. Memiliki
kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
6. Keengganan
untuk mengalami kerugian atau kerusakan.
7. Kemampuan
untuk melihat keterkaitan berbagai hal.
8. Memiliki
kecenderungan bertanya "mengapa" atau "bagaimana jika"
dalam rangka mencari jawaban yang mendasar.
9. Memiliki
kemampuan untuk bekerja mandiri.[21]
c.
Faktor yang Mempengaruhi
1.
Factor internal
Spiritual itu adalah jiwa atau ruh. Jadi pribadi sendiri akan mempengaruhi
kecerdasan spiritual itu sendiri. Karena jika dalam diri kita tak ada
sidikitpun ruh yang ingin memaknai sebenarnya apa hidup itu, maka
kecerdasan spiritual itu akan sulit untuk ada. Meskipun lingkungan mendukung.
2. Factor eksternal
a. Lingkungan keluarga.
Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Untuk itu segala kecerdasan
bermula dan dipengaruhi oleh keluarga. Begitu juga dengan kecerdasan spiritual
anak. Keluarga berpengaruh besar dalam membentuk kecerdasan spiritual anak.
b. Lingkungan sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga formal yang juga mempengaruhi kecerdasan
spiritual anak. Karena disekolah ini anak banyak memperoleh pengetahuan. Tak
hanya pengetahuan tapi juga nilai. Jika guru memberi nilai kehiduan yang
baik, maka itu akan membuat kecerdasan spiritual anak akan baik. Disamping itu
semua pihak sekolah bekerja sama dalam memberikan pengetahuan yang mampu
meningkatkan kecerdasan anak.
c. Lingkungan
masyarakat
Lingkungan masyarakat akan mempengaruhi terhadap kecerdasan spiritual anak.
Karena anak disamping tinggal dilingkungan keluarga, anak juga hidup dalam
masyarakat. Jika masyarakat mempunyai budaya atau kebiasaan yang baik maka anak
akan terbiasa juga untuk melakukan hal–hal yang baik. Sehingga secara tak
langsung kecerdasan spiritual anak akan muncul dan berkembang.[22]
d.
Pengertian Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency)
Sudarsono
Kenakalan remaja merupakan seorang anak masih dalam fase-fase usia
remaja yang kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum, sosial,
susila dan agama.[23]
Bimo
Walgito
Kenakalan remaja tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan
oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan
perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja.[24]
Simanjuntak
Pada
arti bahasa Inggris Juvenile Deliquent
yang bermakna remaja yang nakal, Juvenile berarti anak muda dan deliquent
berarti perrbuatan salah atau perilaku menyimpang.[25]
Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku jahat (dursila) atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian
sosial, sehingga mereka itu ngembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.[26]
Sama dengan pandangan diatas menganggap penyimpangan sebagai sesuatu yang
bersifat patologis; artinya ada suatu penyakit. Pandangan ini dilandaskan
berdasar analogi ilmu kedokteran. Organisme manusia di sebut berfungsi apabila
bekerja secara efisien dan tidak mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan.[27]
f.
Ciri Karakteristik
Individual
Remaja yang nakal ini
mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti :
1.
Hanya berorientasi pada masa
sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
2.
Kebanyakan dari mereka terganggu
secara emosional
3.
Mereka kurang bersosialisasi
dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusila,
dan tidak bertanggung jawab secara sosial.
4.
Mereka senang menceburkan
diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa kejantanan, walaupun
mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya terkandung di dalamnya.
5.
Pada umumnya mereka sangat
impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
6.
Hati nurani tidak atau
kurang lancar fungsinya.
7.
Kurang memiliki disiplin
dari dan kontrol dari sehingga mereka menjadi liar dan jahat.
g.
Faktor yang Mempengaruhi
a. faktor
Internal
1. gangguan
cara berfikir dan intelegensi anak
2. reaksi
frustasi negatif
3. gangguan
pengamatan dan tanggapan
4. gangguan
emosional/perasaan
b. faktor
Eksternal
1. lingkungan
keluarga
2. lingkungan
sekolah
3.
dan lingkungan sekitar.[28]
h.
Teori Sebab Terjadinya Kenakalan Remaja
Ada beberapa teori mengenai sebab
terjadinya kenakalan remaja, antara lain
: teori biologis, teori psikogenis (psikologis dan psikiatris), teori
sosiogenesis, teori subkultur. Mengenai teori yang sesuai dengan penelitian
ini, peneliti mengambil teori psikogenis (psikologis dan psikiatris).
Teori psikogenis ini menekankan
sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi
kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi,
sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru,
konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis, dan
lain-lain. Anak-anak delikuen ini pada umumnya mempunyai intelegensi verbal
lebih rendah, dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi
sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang tumpul dan wawasan sosial kurang tajam,
mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat. Mereka
banyak membolos dari sekolah. Kurang lebih 30% dari anak-anak yang terbelakang
mentalnya menjadi kriminal, dan kurang lebih 50% dari anak-anak delikuen itu
pernah mendapatkan hukuman polisi atau pengadilan lebih dari satu kali.[29]
Delikuensi cenderung lebih banyak
dilakukan oleh anak-anak, remaja dan adolenses ketimbang dilakukan oleh
orang-orang dengan kedewasaan muda. Remaja dan adolenses delikuen ini mempunyai
moralitas sendiri, dan biasanya tidak mengindahkan norma-norma moral yang
berlaku di tengah masyarakat. Disamping itu, semua fase transisi, juga fase
transisi masa kanak-kanak menuju kedewasaan, selalu membangkitkan protes
adolesens. Kejahatan yang mereka lakukan
dipraktekkan seorang diri, dengan cara yang impulsif dan agresif, tidak peduli
terhadap hasil perolehanya.
Melihat beberapa
penyimpangan berupa kenakalan pada anak remaja terutama dalam lingkup sekolah
dengan melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Maka dapat dilihat juga
ada hubungannya dengan kecerdasan spiritual anak, karena anak-anak yang tidak
memiliki kecerdasan spiritual mudah terjangkit krisis spiritual (spiritual crisis), keterasingan
spiritual (spiritual alienation,
patologi spiritual (spiritual pathology),
dan penyakit spiritual (spiritual illnes).
Itu merupakan penyakit jiwa manusia modern.[30]
Dengan demikian
dapat diketahui bahwa yang menjadi lapangan kajian atau penyelidikan masalah
sosial ialah poblem dalam individu atau masyarakat yang sakit dengan kondisi
salah satu mengenai sakit jiwa atau menyimpang dari norma sehat yang telah
ditetapkan oleh banyak orang. sehingga perilaku yang dianggap menyimpang karena
kenakalan remaja itu jelas-jelas salah dan harus diubah. Apabila tidak diubah
maka akan merusak individu atau masyarakat itu sendiri.
G.
HIPOTESIS
PENELITIAN
Hipotesis dapat didefinisikan sebagai jawaban
sementara yang kebenaranya masih harus diuji atau rangkuman kesimpulan teoritis
yang diperoleh dari tinjauan pustaka.[31]
Dalam penelitian ini, hipotesis dinyatakan dalam bentuk :
1. Hipotesis
Nol (Ho), yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara
variabel-variabel yang dipermasalahkan, artinya tidak ada hubungan antara
kecerdasan spiritual dengan kenakalan remaja.
2. Hipotesis
Alternatif (Ha), yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa ada korelasi antara
variabel-variabel yang dipermasalahkan, artinya ada hubungan antara kecerdasan
spiritual dengan kenakalan remaja.
H.
METODE
PENELITIAN
a. Jenis
Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang
membutuhkan cara atau jalan yang disebut metode dan kegiatan yang dilakukan
secara berproses membutuhkan metode. Atas dasar itu dikenal metode penyelesaian
masalah, dan juga metode penelitian.[32]
b. Lokasi
Penelitian
Nama : SMA Negeri 7 Kota Kediri
Lokasi : Jl. Penanggungan No. 4 Kota Kediri
Didirikan : 1954 Sekolah Pendidikan Guru Negeri Kediri
1989 SMA
Negeri 7 Kota Kediri
Status : Negeri
c.
Populasi
Populasi
menurut Nazir, adalah kumpulan dari individu dengan kualitas dan ciri-ciri yang
ditetapkan.[33]
Sedangkan Sugiyono mendefinisikan populasi dengan wilayah generalisasi yang
terdiri atas obek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulanya.[34]
Dapat
disimpulkan dari beberapa pengertian diatas, setidaknya ada tiga hal yang perlu
diperhatihan terkait populasi. Pertama, populasi menjadi wilayah generalisasi
dari kesimpulan analisis data sampel; kedua, jumlah populasi, dan ketiga,
karakteristik dari populasi. Pada penelitian ini dalam menentukan populasi di
SMA Negeri 7 Kota Kediri peneliti mendapatkan 1119 siswa.
d.
Sampel
Sampel,
menurut Riyanto adalah sembarang himpunan yang merupakan bagian dari suatu
populasi.[35]
Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan ketika menentukan besarnya sempel
adalah jumlah populasi, karakteristik populasi, dan tingkat kesalahan yang
ditoleransi. Dengan menggunakan Stratified Random Sampling,
yang merupakan teknik pengambilan sampel bila populasi mempunyai anggota/unsur
secara Stratified.
Untuk mempermudah pembaca ketika
menentukan besarnya sempel, dengan menggunakan penyajian jumlah populasi,
jumlah sempel sebagai aplikasi rumus Issac and Michael yang diperbandingkan
dengan jumlah sampel menurut tabel Krejcie. Dan mengetahui populasi siswa di SMA Negeri 7 Kota Kediri
1119 siswa maka
menggunakan rumus pertama adalah Issac and Michael sebagai berikut:[36]

Keterangan:
S = Jumlah Sempel.
X2 = diambil dari X2 tabel untuk
tingkat kesalahan
1%: 6,634891; untuk
5%: 3,841455, dan untuk 10%: 2.705541.

N = Jumlah
Populasi.
P = Jumlah
proporsi populasi.
Q = 1 kurang nilai proporsi. Seandainya
nilai proporsi 597/1000, maka nilai q adalah 403/1000.
D = Kesalahan yang ditoleran.
e. Metode
Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan
data, metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Metode
angket,
Diperoleh
dari beberapa jawaban dari pertanyaan tertulis yang diisi oleh responden, yang
dapat dicari dengan metode ini adalah tentang perilaku dan kecerdasan spiritual.
Angket digunakan
peneliti untuk disebarkan kepada responden yang berisi tentang pertanyaan dan
jawaban sehingga untuk dijawab dan untuk mengetahui hasilnya. Kuisioner
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada respondan untuk
dijawabnya. Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila
peneliti tahu dengan pasti variable yang akan diuku dan atau apa yang bisa
diharapkan dari responden[37]
2. Metode
Observasi,
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan metode observasi untuk mengamati keadaan atau lokasi penelitian
apakah sekolah tersbut layak untuk diadkan penelitian dan untuk menghasilkan
apa yang ingin diperoleh.
Orang seringkali mengartikan
observasi sebagai aktiva yang sempit, yakni memperhatikan sesuatu dengan
menggunakan mata. Di dalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut
dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan terhadap sesuatu objek dengan
menggunakan seluruh alat indra. Jadi, mengobservasi dapat dilakukan melalui
penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap.Apa yang dikatan ini
sebenarnya adalah pengamatan langsung di dalam artian penelitian observasi
dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar, rekaman suara.
3. Metode
dokumentasi,
yaitu Metode dokumentasi yang peneliti
gunakan yaitu untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan masalah
misalnya: Gambaran umum madrasah, letak geografis, visi,misi, dan tujuan
madrasah, sarana prasarana, sturuktur organisasi,data guru dan karyawan serta
daftar nama responden. Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk
memperoleh keterangan-keterangan yang berwujud data cacatan penting atau
dokumen penting yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dari lembaga
yang berperan dalam masalah tersebut. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan
data nama, jumlah dan nilai siswa.
f. Analisis
Data
Analisis data merupakan
data yang telah terkumpul dianalisis secara induktif dan berlangsung selama
pengumpulan data di lapangan, dan dilakukan secara terus menerus. Pada
penelitian kuantitatif proses analisis data berlangsung linier. Bermula dari
perumusan masalah, perumusan hipotesis, penyusunan alat ukur, selanjutnya
kegiatan mengumpulkan data, baru kemudian menganalisis data.[38]
Uji Hipotesis Korelasi
Dalam ilmu
statistic istilah korelasi berarti hubungan antardua variable atau lebih. Jadi
jika variable x mengalami kenaikan maka akan diikuti kenaikan variable y. Itulah korelasi positif. Sedangkan korelasi negative
adalah apabila variabel x mengalami peningkatan mengakibatkan variabel y
mengalami penurunan dan sebaliknya.
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi tentang Hubungan SQ dengan
Kenakalan Remaja
P
=
x 100%

Keterangan:
P = Persentase
F = Frekuensi
N = Jumlah subyek atau sempel[39]
Pada penelitian
ini mengenai Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual Terhadap Kenakalan
Remaja di SMA Negeri 7
Kota Kediri menggunakan statistik parametrik Product Moment. Karena teknik korelasi ini digunakan untuk mencari
hubungan dan membuktikan hipotesis hubungan dua variabel bila data kedua
variabel berbentuk interval atau rasio. Dan karena Product Moment termasuk
parametrik, maka harus memenuhi uji asumsi yaitu kedua variabel itu
berdistribusi normal. Setidaknya ada dua rumus product moment yaitu:[40]

Dimana:


X = ( Xi – X
)

Rumus terakhir digunakan bila sekaligus akan
menghitung persamaan regresi.


I.
OUTLINE
PENELITIAN
Dalam penulisan skripsi ini, dibagi menjadi empat bab dengan
sistematika pembahasannya sebagai
berikut :[41]
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penelitian
D. Kegunaan
Penelitian
E. Hipotesis
Penelitian
F. Asumsi
Penelitian
G. Penegasan
Istilah
BAB II: LANDASAN TEORI
BAB III : METODE PENELITIAN
A.
Rancangan Penelitian
B.
Populasi dan Sampel
C.
Pengumpulan Data
D.
Instrumen Penelitian
E.
Analisis Data
BAB IV : HASIL PENELITIAN
A.
Gambaran Umum Objek Penelitian
B.
Deskripsi Data
C.
Pengujian Hipotesis
BAB V : PEMBAHASAN
BAB
VI : PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
[1] Dwi Sunar P, Edisi Lengakap TES IQ EQ & SQ,
(Yogjakarta: FlashBook, 2010), 263.
[2] Danah Zohar dan Ian Marshall, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
Berfikir Integratik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, (Bandung: Mizan,
2011), 80.
[3] Jokie M.S. Siahaan, Perilaku Menyimpang Pendekatan
Sosiologi,
(Jakarta: PT Indeks, 2009), 99-100
[4] B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja,
(Bandung: Alumni 1984), 43.
[5] Zakiah
Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta:
Gunung Agung, 1982), 113.
[6] Sudarsono, Kenakalan Remaja Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2004),14
[7] Kartini Kartono, Patologi Sosial jilid ii Kenakalan Remaja,
( Jakarta: Rajawali Pres, 2010), 7.
[8] ibid, 110.
[9] Peter Benson, Spirituality and the Adolescent Journey
Journal, Volume 5, 1997.
[10] Triantoro Safaria, Spiritual Intellegence (Metode Pengembangan
Kecerdasan Spiritual Anak), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 6-8.
[13] Robyn Mapp, The Role of Religiosiy and Spirituality in Juvenile Deliquency,
Thesis Economic, The College of New Jersey, 2009.
[14] Kartini Kartono, Patologi Sosial
2 Kenakalan Remaja, 48-49.
[15]
M Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari
Sunah Nabi, (Jakarta: Hikmah, 2003), 99.
[16] John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),79.
[17]
Danah
Zohar dan Ian Marshall, Memanfaatkan
Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integratik dan Holistik untuk memaknai
kehidupan, (Bandung: Mizan, 2011), 8.
[18] Abdul Wahab
Hasan, SQ Nabi Apikasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual Rasullah
di Masa kini, (Yogyakarta: IRCiSoD), 27.
[19] Marsha Sinetar, Spiritual Intellegence:Belajar dari Anak
yang Mempunyai Kesadaran Dini, (Jakarta: Elex Media Komputindo), 17.
[20] Kahlil Khavari, Spiritual Intellegence Practical Guide to
Personal Happiness, (Canada: White Moutain), 23.
[21] Danah Zohar dan Ian Marshall, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
Berfikir Integratik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, 14.
[23] Sudarsono, Kenakalan Remaja Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi, 14.
[24] Bimo Walgito, Kenakalan Remaja
(Juvenile Deliquency), 2.
[25] B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, 43.
[26] Kartini Kartono, Patologi Sosial
2 Kenakalan Remaja, 6.
[27] Soekanto Soerjono, Sosiologi Penyimpangan, (Jakarta:
Rajawali, 1988), 5.
[28] Kartini Kartono, Patologi Sosial jilid ii, 110.
[29] Ibid, 26-27.
[30] Triantoro Safaria, Spiritual
Intellegence (Metode
Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak), 8-11.
[31]Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif Analisis Isi dan
Analisis Data Sekunder (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), 63.
[32] Purwanto, Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 164.
[36]
Ali Anwar, Statistik Untuk
Penelitian Pendidikan dan Aplikasinya Dengan SPSS dan Excel, (Kediri: IAIT
Press, 2009), 113.
[37] Sugiono, Statistik Untuk Penelitian, 199.
[38]Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,
dan Tindakan (Bandung:PT RefikaAditama, 2012), 216.
[39] Anas Sudiono, Pengantar Statistik
Pendidikan, (Jakarta: CV Rajawali,
1991), 40.
[40] Ali
Anwar, Statistik Untuk Penelitian
Pendidikan dan Aplikasinya Dengan SPSS dan Excel, 103-104.
[41] Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Kediri: STAIN Kediri, 2012.