Minggu, 27 September 2015

Contoh Proposal Skripsi

A.    LATAR BELAKANG

Saat ini, Pada akhir abad kedua puluh, serangkaian data baru ilmiah yang sejauh ini belum banyak dibahas, menunjukkan adanya “Q” jenis ketiga. Kecerdasan spiritual di sini diartikan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan yang menentukan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan lebih, kecerdasaan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan Intelektual quation IQ dan EQ secara efektif dan merupakan jenis pemikiran yang memungkinkan kita menata kembali dan menstranformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan IQ dan EQ.[1]
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia. Yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual. Dan God Spot inilah pada giliranya melahirkan konsep kecerdasan spiritual yaitu suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna.[2]
Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Sehingga orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialami. Dengan memberi makna yang positif ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Dan dalam kehidupan manusia pun sejak awal hingga sekarang selalu mengalami perubahan-perubahan, baik pada fisik jasmani, maupun mentalnya, baik perubahan negatif maupun positif. Remaja misalnya, yang merupakan bagian dari masyarakat adalah komunitas yang paling rentan dalam menerima perubahan tersebut. Karena pada masa ini yaitu masa memasuki fase pencarian jati diri, jika dalam fase ini remaja tidak diimbangi dengan kokohnya benteng moral dan agama, maka sudah pasti bisa mengarah kehidupan yang menyimpang.
Bagi para ahli Rubington dan Weinberg yang telah dikutip dalam Jokie Siahaan bahwa “masalah sosial atau menyimpang adalah pelanggaran terhadap harapan moral, Penyimpangan adalah kesakitan atau menyimpang dar norma sehat yang telah ditetapkan oleh banyak orang”. Asumsi pendekatan ini didasari oleh keyakinan bahwa ada kondisi sakit tertentu dalam masyarakat dan individu tertentu yang sakit. Lama-kelamaan berkembang pandangan bahwa kondisi-kondisi seperti sakit, keterbelakangan mental, mabuk, tidak berpendidikan dan tidak bermoral karena kemiskinan adalah patologi social yang kemudian dikenal sebagai penyimpangan.[3]
Dalam kehidupan remaja banyak perilaku penyimpangan, pada hal ini kenakalan remaja tergolong dalam perilaku menyimpang pada remaja. Pada arti bahasa Inggris Juvenile Deliquent yang bermakna remaja yang nakal, Juvenile berarti anak muda dan deliquent berarti perbuatan salah atau perilaku menyimpang.[4] Dan menurut Zakiah Drajat mengatakan bahwa kenakalan merupakan sebuah ekspresi dari tekanan jiwa atau psikologis, dengan memberi batasan tentang kenakalan remaja sebagai sebuah ungkapan dari ketenangan perasaan, kegelisahan dan kecemasan atau tekanan batin (frustasi).[5]
Dengan demikian nampak jelas bahwa apabila seorang anak masih berada dalam fase-fase usia remaja kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum, sosial, susila dan agama, maka perbuatan anak tersebut dapat digolongkan ke dalam kenakalan remaja (juvenile delinquency).[6] Dan mayoritas juvenile delinquency berusia di bawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15-19 tahun. Sehingga sesudah umur 22 tahun kasus kejahatan yang dilakukan oleh gang-gang deliquency menjadi menurun.[7]
Melihat rentan usia anak pada 15-19 tahun menjadi angka tertinggi tindak kejahatan  maka, peneliti menemukan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dalam sekolah seperti yang sudah dibahas diatas mengenai perilaku menyimpang atau kenakalan remaja. Sebagai sekolah yang menjadi sarana pendidikan bukan hanya pengetahuan saja namun nilai moral juga didapat dari sekolah. Tetapi masih banyak juga peserta didik yang menyimpang dari aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh sekolah. Dalam contohnya saja siswa mencontek, terlambat masuk sekolah, tidak melengkapi atribut sekolah, mencuri, berbohong, berkelahi sesama teman, tidak masuk tanpa keterangan, dan membolos saat jam pelajaran berlangsung.
Beberapa yang menjadi factor penyebab terjadinya anak menjadi berperilaku menyimpang dari faktor internal yaitu gangguan berfikir dan intelegensi, gangguan pada pengamatan, reaksi frustasi negatif. Sedangkan faktor eksternal yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.[8] Diketahui faktor penyebab dari perilaku menyimpang bahwa dalam faktor internal terdapat gangguan berfikir dan intelegensi kecerdasan IQ, EQ, SQ pada anak. Peneliti menjadikan gangguan intelegensi atau kecerdasan SQ menjadi variabel pengaruh dalam perilaku menyimpang pada remaja.
Melihat beberapa penyimpangan pada remaja terutama dalam lingkup sekolah dengan melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Maka dapat dilihat juga ada hubungannya dengan kecerdasan spiritual anak, karena anak-anak yang tidak memiliki kecerdasan spiritual mudah terjangkit krisis spiritual keterasingan spiritual (spiritual alienation, patologi spiritual (spiritual pathology), dan penyakit spiritual. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Peter Benson dengan pandangan umum bahwa agama spiritualitas sedikit dipahami oleh masyarakat namun sangat dibutuhkan karena masalah remaja dapat dipahami juga sebagai masalah spiritualitas. Dengan studi tersebut mengungkapkan bahwa benar-benar berjalan dan telah terindentifikasi untuk mengurangi kesehatan kompromi Behavior seperti masalah remaja, kekerasan, pergaulan remaja, penggunaan narkoba, minuman keras.[9]          
jika dihubungkan dengan kecerdasan spiritual akan menunjukkan betapa peran kecerdasan spiritual sangan penting dan efektif dalam membimbing anak untuk menghadapi kenakalan remaja. Jiwa remaja akan semakin kuat sehingga memiliki ketangguhan untuk mengahadapi segala tantangan dan hambatan dalam hidup ini. Sungguh sangat mengerikan jika remaja kita kosong secara spiritual, dikuasai dorongan hawa nafsu angkara murka yang pada akhirnya akan menghancurkan masa depan itu sendiri. Jika melihat remaja yang mengalami kehampaan dan kekosongan spiritual, akan hidup dalam perilaku menyimpang, mereka mudah merusak milik orang lain.[10]
Dari uraian di atas mengenai pentingnya Kecerdasan Spiritual (SQ) bagi remaja serta penilaian perilaku dimasa modern ini, penulis melakukan penelitian siswa di SMA Negeri 7 Kota Kediri yang sudah terdapat tata tertib dengan terdapat poin-point tertentu sebagai pelanggaran remaja yang nakal atau menyimpang dan melihat lingkungan sekolah yang cukup favorit di mata masyarakat, namun tetap saja masih terdapat kenakalan remaja pada sekolah. Maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul : “HUBUNGAN TINGKAT KECERDASAN SPIRITUAL (SQ) DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMA NEGERI 7 KOTA KEDIRI TAHUN AJARAN  2014/2015.”

B.     RUMUSAN MASALAH
Untuk mempertajam dan memberikan batasan penelitian yang jelas, maka penulis membuat beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana tingkat Kecerdasan Spiritual (SQ) pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015?
2.    Bagaimana keadaan siswa pada kenakalan remaja di SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015?
3.    Adakah Hubungan antara tingkat Kecerdasaan Spiritual (SQ) dengan kenakalan remaja siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015?

C.    TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, makan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat Kecerdasan Spiritual (SQ) pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015.
2. Untuk mengetahui kenakalan remaja pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015.
3. Untuk mengetahui adakah hubungan Tingkat Kecerdasaan Spiritual (SQ) dengan kenakalan remaja pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri Tahun Ajaran 2014/2015.

D.     MANFAAT PENELITIAN
Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis maupun teorotik yaitu:
1.    Secara Teoritik
Diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan pendidikan yang diperoleh dari penelitian lapangan. Khususnya untuk umpan balik dalam mengungkap kecerdasan spiritual anak terhadap perilaku menyimpang anak pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri
2.    Secara Praktis
a.       Bagi Peserta Didik, sebagai pengendalian perilaku sehingga kenakalan remaja di sekolah tidak semakin meningkat.
b.      Bagi Pendidik, sebagai pembelajaran menghadapi kenakalan remaja di sekolah. Terutama untuk pendidik Agama Islam bisa membantu meningkatkan kecerdasan spiritual agar jiwa peserta didik menyelesaikan masalah tanpa menjadikan kenakalan remaja suatu solusi.
c.       Bagi Lembaga Pendidik, sebagai masukan yang positif terhadap penyelesaian kenakalan remaja di sekolah.
d.      Bagi Penulis, dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan ilmu pengetahuan dalam pentingnya kecerdasan spiritual pada peserta didik, serta menjadi rujukan dalam kegiatan penelitian pengembangan di waktu mendatang.
e.       Bagi Orang Tua, dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan masukan dalam membimbing perilaku anaknya di lingkungan keluarga.
f.       Bagi Peneliti Lanjutan, sebagai kontribusi pemikiran bagi para ilmuan yang akan datang yang ingin meneliti lebih lanjut.
E.     TELAAH PUSTAKA
Pada penelitian ini, peneliti melakukan kajian terhadap hubungan kecerdasan spiritual (SQ) dengan perilaku menyimpang pada siswa SMA Negeri 7 Kota Kediri. Yang dimana terdapat variabel X yaitu kecerdasan spiritual dan variabel Y yaitu kenakalan remaja.
Para ahli yang meneliti penyimpangan mengahadapi definisi tentang orang, perilaku, dan kondisi penyimpangan yang sangat beragam. Sebagaimana dalam kategori Stafford dan Scott ahli social  yang telah dikutip Jokie M.S:
Mengajukan daftar sementara tentang kondisi yang dianggap menyimpang, seperti tua, lumpuh, kanker, kecanduan obat, sakit jiwa, cebol, berkulit hitam, alkoholik, perokok, pelaku kejahatan, homoseksualitas, pengangguran, buta, epilepsi, pengemis, buta huruf, bercerai, buruk rupa, gagap, keterbelakangan mental, dan tuna rungu. Daftar tersebut meliputi perilaku (misalnya perilaku kejahat), kondisi (misalnya buruk rupa), jenis orang (misalnya gelandangan), dan keterpaksaan.[11]
Pada pandangan Absolutisme mengenai pengertian perilaku menyimpang, juga mengasumsikan bahwa masyarakat memiliki aturan atau dasar yang jelas dan anggotanya sepakat tentang perilaku yang dianggap menyimpang karena acuan perilaku normal diterima secara luas. Definisi absolutisme ini  masih dianut sampai sekarang, terutama oleh pakar para psikologi dan psikiater yang menganggap penyimpangan adalah kondisi sakit secara medis.[12]
Dan pada penelitian Robyn Mapp Peran Religiusitas dan Spiritualitas dengan Kenakalan Remaja dalam uji sampel pada anak remaja. Dengan menggunakan analisis Probit, data dari 2005 Transisi untuk dewasa suplemen untuk panel study dinamika pendapat. Sebanyak 745 remaja yang diwawancarai melalui telephone kemudian dengan pembersihan data yang sesuai sampel terdiri 684 remaja usia 18-22 tahun. Dengan hasil ada 545 remaja, atau 80 persen dari sampel, yang  agama berafiliasi, dan 139 remaja yang mengatakan bahwa mereka tidak beragama, yang atheis. Ada 178 remaja, atau 26 persen, yang dihadiri ibadah setidaknya sekali  minggu, dan 506 orang yang menghadiri ibadah jarang atau tidak sama sekali. 195 remaja (28,51 persen) tidak menganggap agama penting, sedangkan 489  remaja memang menganggap agama menjadi agak atau sangat penting. Untuk pentingnya spiritualitas, 313 remaja mengangap spiritual tidak penting dan sebanyak 371 menganggap spiritual penting bagi anak remaja.[13]
Pada permasalahan ini maka permasalahan remaja ini masuk dalam tipe delikuensi defek moral, defek yang artinya rusak, tidak lengkap,  salah, cedera, cacat, kurang. Dengan ciri-ciri selalu melakukan tindakan asosial atau anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif, namun ada disfungsi pada intelegensinya. Pada penelitian yang dikutip oleh Kartini Kartono “penelitian terhadap 10000 kasus kejahatan kelas berat di New York pada tahun 1960 kurang lebih 20% dari para penjahat adalah abnormal secara mental, yaitu 7% psikopatis, 10% neurotis, 2% defisian mental, 1%psikotis/gila.”[14] Kebanyakan dari mereka itu adalah anak-anak muda berkisar dari usia 14-30 tahun. Kasus mental defek dan psikopatis semakin bertambah dari tahun ketahun. 40% lainya menampilkan penyampingan pada struktur kepribadianya, antara lain bersifat agresif, labil emosi, amat malas, indolent secara psikis, dan lain-lain.
Dengan gangguan kesehatan jiwa sebagian besar disebabkan oleh tekanan, pengalaman-pengalaman emosional dan konflik batin. Secara psikologis kondisi ini akan berakibat pada persepsi buruk terhadap dirinya dan orang lain, perilaku yang menyimpang, dan perasaan tidak bahagia. Tiga keadaan ini pada akhirnya melemahkan kemampuan si sakit dalam membuat keputusan secara umum, melaksanakan tanggung jawabnya dengan efisien dan membina hubungan yang harmonis dengan sesama.[15]

F.     KAJIAN TEORITIK
Teori merupakan seperangkat konstruk atau variabel yang saling berhubungan, yang berasosiasi dengan proposisi atau hipotesis yang merinci hubungan antar variabel. Suatu teori dalam penelitian bisa saja berfungsi sebagai argumen, pembahasan, atau alasan.[16]
a.       Pengertian Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar dan Ian Marshall
Menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual kecerdasan adalah kecerdasan jiwa untuk dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh dan merupakan fasilitas yang berkembang yang memungkinkan otak menemukan dan memecahkan masalah.[17]
Abdul wahid Hasan
Mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang digunakan untuk menyelesaikan permasahan hidup yang dihadapi, manusia dituntut untuk kreatif mengubah penderitaan menjadi semangat (motivasi) hidup yang tinggi sehingga penderitaan berubah menjadi kebahagiaan hidup. Manusia harus mampu menemukan makna kehidupannya.[18]
Marsha Sinetar
Kecerdasan spiritual adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, theisness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian.[19]
Khalil Khavari
Kecerdasan spiritual merupakan fakultas dari dimensi nonmaterial kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosokkannya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakanya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Akan tetapi, kemampuanya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas.[20]
Maka secara garis besar kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan yang menentukan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas. Dalam hal ini apabila pada diri manusia tidak terdapat kecerdasan spiritual akan mudah terjangkit krisis spiritual dan merupakan penyakit-penyakit jiwa manusia modern.
b.      Indikator Kecerdasan Spiritual
Sehubungan dengan kecerdasan spiritual yang tinggi, terdapat beberapa ciri atau indicator sebagai berikut :
1. Kemampuan bersikap fleksibel, yaitu mampu beradaptasi secara aktif dan spontan.
2.  Tingkat kesadaran yang dimiliki tinggi.
3.  Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan dan mengambil hikmah darinya.
4.  Memiliki kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit.
5.  Memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
6.  Keengganan untuk mengalami kerugian atau kerusakan.
7.  Kemampuan untuk melihat keterkaitan berbagai hal.
8.  Memiliki kecenderungan bertanya "mengapa" atau "bagaimana jika" dalam rangka mencari jawaban yang mendasar.
9.  Memiliki kemampuan untuk bekerja mandiri.[21]
c.       Faktor yang Mempengaruhi
1.       Factor internal
Spiritual itu adalah jiwa atau ruh. Jadi pribadi sendiri akan mempengaruhi kecerdasan spiritual itu sendiri. Karena jika dalam diri kita tak ada sidikitpun  ruh yang ingin memaknai sebenarnya apa hidup itu, maka kecerdasan spiritual itu akan sulit untuk ada. Meskipun lingkungan mendukung.
2.  Factor eksternal
a.       Lingkungan keluarga.
Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Untuk itu segala kecerdasan bermula dan dipengaruhi oleh keluarga. Begitu juga dengan kecerdasan spiritual anak. Keluarga berpengaruh besar dalam membentuk kecerdasan spiritual anak.
b.      Lingkungan sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga formal yang juga mempengaruhi kecerdasan spiritual anak. Karena disekolah ini anak banyak memperoleh pengetahuan. Tak hanya pengetahuan tapi juga nilai. Jika guru memberi nilai  kehiduan yang baik, maka itu akan membuat kecerdasan spiritual anak akan baik. Disamping itu semua pihak sekolah bekerja sama dalam memberikan pengetahuan yang mampu meningkatkan kecerdasan anak.
c.       Lingkungan  masyarakat
Lingkungan masyarakat akan mempengaruhi terhadap kecerdasan spiritual anak. Karena anak disamping tinggal dilingkungan keluarga, anak juga hidup dalam masyarakat. Jika masyarakat mempunyai budaya atau kebiasaan yang baik maka anak akan terbiasa juga untuk melakukan hal–hal yang baik. Sehingga secara tak langsung kecerdasan spiritual anak akan muncul dan berkembang.[22]
d.      Pengertian Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency)
Sudarsono
Kenakalan remaja merupakan seorang anak masih dalam fase-fase usia remaja yang kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum, sosial, susila dan agama.[23]
Bimo Walgito
Kenakalan remaja tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja.[24]
Simanjuntak
Pada arti bahasa Inggris Juvenile Deliquent yang bermakna remaja yang nakal, Juvenile berarti anak muda dan deliquent berarti perrbuatan salah atau perilaku menyimpang.[25]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu ngembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.[26] Sama dengan pandangan diatas menganggap penyimpangan sebagai sesuatu yang bersifat patologis; artinya ada suatu penyakit. Pandangan ini dilandaskan berdasar analogi ilmu kedokteran. Organisme manusia di sebut berfungsi apabila bekerja secara efisien dan tidak mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan.[27]
f.       Ciri Karakteristik Individual
Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti :
1.      Hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
2.      Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional
3.      Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusila, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.
4.      Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya terkandung di dalamnya.
5.      Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
6.      Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
7.      Kurang memiliki disiplin dari dan kontrol dari sehingga mereka menjadi liar dan jahat.

g.      Faktor yang Mempengaruhi
a.       faktor Internal
1.      gangguan cara berfikir dan intelegensi anak
2.      reaksi frustasi negatif
3.      gangguan pengamatan dan tanggapan
4.      gangguan emosional/perasaan
b.      faktor Eksternal
1.      lingkungan keluarga
2.      lingkungan sekolah
3.      dan lingkungan sekitar.[28]

h.    Teori Sebab Terjadinya Kenakalan Remaja
Ada beberapa teori mengenai sebab terjadinya  kenakalan remaja, antara lain : teori biologis, teori psikogenis (psikologis dan psikiatris), teori sosiogenesis, teori subkultur. Mengenai teori yang sesuai dengan penelitian ini, peneliti mengambil teori psikogenis (psikologis dan psikiatris).
Teori psikogenis ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis, dan lain-lain. Anak-anak delikuen ini pada umumnya mempunyai intelegensi verbal lebih rendah, dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang tumpul dan wawasan sosial kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat. Mereka banyak membolos dari sekolah. Kurang lebih 30% dari anak-anak yang terbelakang mentalnya menjadi kriminal, dan kurang lebih 50% dari anak-anak delikuen itu pernah mendapatkan hukuman polisi atau pengadilan lebih dari satu kali.[29]
Delikuensi cenderung lebih banyak dilakukan oleh anak-anak, remaja dan adolenses ketimbang dilakukan oleh orang-orang dengan kedewasaan muda. Remaja dan adolenses delikuen ini mempunyai moralitas sendiri, dan biasanya tidak mengindahkan norma-norma moral yang berlaku di tengah masyarakat. Disamping itu, semua fase transisi, juga fase transisi masa kanak-kanak menuju kedewasaan, selalu membangkitkan protes adolesens.  Kejahatan yang mereka lakukan dipraktekkan seorang diri, dengan cara yang impulsif dan agresif, tidak peduli terhadap hasil perolehanya.
Melihat beberapa penyimpangan berupa kenakalan pada anak remaja terutama dalam lingkup sekolah dengan melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Maka dapat dilihat juga ada hubungannya dengan kecerdasan spiritual anak, karena anak-anak yang tidak memiliki kecerdasan spiritual mudah terjangkit krisis spiritual (spiritual crisis), keterasingan spiritual (spiritual alienation, patologi spiritual (spiritual pathology), dan penyakit spiritual (spiritual illnes). Itu merupakan penyakit jiwa manusia modern.[30]
Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang menjadi lapangan kajian atau penyelidikan masalah sosial ialah poblem dalam individu atau masyarakat yang sakit dengan kondisi salah satu mengenai sakit jiwa atau menyimpang dari norma sehat yang telah ditetapkan oleh banyak orang. sehingga perilaku yang dianggap menyimpang karena kenakalan remaja itu jelas-jelas salah dan harus diubah. Apabila tidak diubah maka akan merusak individu atau masyarakat itu sendiri.
G.     HIPOTESIS  PENELITIAN
Hipotesis dapat didefinisikan sebagai jawaban sementara yang kebenaranya masih harus diuji atau rangkuman kesimpulan teoritis yang diperoleh dari tinjauan pustaka.[31] Dalam penelitian ini, hipotesis dinyatakan dalam bentuk :
1.      Hipotesis Nol (Ho), yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara variabel-variabel yang dipermasalahkan, artinya tidak ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan kenakalan remaja.
2.      Hipotesis Alternatif (Ha), yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa ada korelasi antara variabel-variabel yang dipermasalahkan, artinya ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan kenakalan remaja.
H.    METODE PENELITIAN
a.       Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang membutuhkan cara atau jalan yang disebut metode dan kegiatan yang dilakukan secara berproses membutuhkan metode. Atas dasar itu dikenal metode penyelesaian masalah, dan juga metode penelitian.[32]


b.      Lokasi Penelitian
Nama         : SMA Negeri 7 Kota Kediri
Lokasi        : Jl. Penanggungan No. 4 Kota Kediri
Didirikan   : 1954 Sekolah Pendidikan Guru Negeri Kediri
                    1989 SMA Negeri 7 Kota Kediri
Status        : Negeri

c.       Populasi
Populasi menurut Nazir, adalah kumpulan dari individu dengan kualitas dan ciri-ciri yang ditetapkan.[33] Sedangkan Sugiyono mendefinisikan populasi dengan wilayah generalisasi yang terdiri atas obek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya.[34]
Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian diatas, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatihan terkait populasi. Pertama, populasi menjadi wilayah generalisasi dari kesimpulan analisis data sampel; kedua, jumlah populasi, dan ketiga, karakteristik dari populasi. Pada penelitian ini dalam menentukan populasi di SMA Negeri 7 Kota Kediri peneliti mendapatkan 1119 siswa.

d.      Sampel
Sampel, menurut Riyanto adalah sembarang himpunan yang merupakan bagian dari suatu populasi.[35] Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan ketika menentukan besarnya sempel adalah jumlah populasi, karakteristik populasi, dan tingkat kesalahan yang ditoleransi. Dengan menggunakan Stratified Random Sampling, yang merupakan teknik pengambilan sampel bila populasi mempunyai anggota/unsur secara Stratified.
Untuk mempermudah pembaca ketika menentukan besarnya sempel, dengan menggunakan penyajian jumlah populasi, jumlah sempel sebagai aplikasi rumus Issac and Michael yang diperbandingkan dengan jumlah sampel menurut tabel Krejcie. Dan mengetahui populasi siswa di SMA Negeri 7 Kota Kediri 1119 siswa maka menggunakan rumus pertama adalah Issac and Michael sebagai berikut:[36]
Keterangan:
S        =   Jumlah Sempel.
X2      = diambil dari X2 tabel untuk tingkat kesalahan  1%: 6,634891; untuk 5%: 3,841455, dan untuk 10%: 2.705541.
N        =  Jumlah Populasi.
P        =  Jumlah proporsi populasi.
Q        = 1 kurang nilai proporsi. Seandainya nilai proporsi 597/1000, maka nilai q adalah 403/1000.
D        = Kesalahan yang ditoleran.

e.       Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.    Metode angket,
Diperoleh dari beberapa jawaban dari pertanyaan tertulis yang diisi oleh responden, yang dapat dicari dengan metode ini adalah tentang perilaku dan kecerdasan spiritual. Angket digunakan peneliti untuk disebarkan kepada responden yang berisi tentang pertanyaan dan jawaban sehingga untuk dijawab dan untuk mengetahui hasilnya. Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada respondan untuk dijawabnya. Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variable yang akan diuku dan atau apa yang bisa diharapkan dari responden[37]
2.      Metode Observasi,
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi untuk mengamati keadaan atau lokasi penelitian apakah sekolah tersbut layak untuk diadkan penelitian dan untuk menghasilkan apa yang ingin diperoleh.
Orang seringkali mengartikan observasi sebagai aktiva yang sempit, yakni memperhatikan sesuatu dengan menggunakan mata. Di dalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Jadi, mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap.Apa yang dikatan ini sebenarnya adalah pengamatan langsung di dalam artian penelitian observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar, rekaman suara.
3.      Metode dokumentasi,
yaitu Metode dokumentasi yang peneliti gunakan yaitu untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan masalah misalnya: Gambaran umum madrasah, letak geografis, visi,misi, dan tujuan madrasah, sarana prasarana, sturuktur organisasi,data guru dan karyawan serta daftar nama responden. Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh keterangan-keterangan yang berwujud data cacatan penting atau dokumen penting yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dari lembaga yang berperan dalam masalah tersebut. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data nama, jumlah dan nilai siswa.
f.       Analisis Data
Analisis data merupakan data yang telah terkumpul dianalisis secara induktif dan berlangsung selama pengumpulan data di lapangan, dan dilakukan secara terus menerus. Pada penelitian kuantitatif proses analisis data berlangsung linier. Bermula dari perumusan masalah, perumusan hipotesis, penyusunan alat ukur, selanjutnya kegiatan mengumpulkan data, baru kemudian menganalisis data.[38]
Uji Hipotesis Korelasi
Dalam ilmu statistic istilah korelasi berarti hubungan antardua variable atau lebih. Jadi jika variable x mengalami kenaikan maka akan diikuti kenaikan variable y. Itulah korelasi positif. Sedangkan korelasi negative adalah apabila variabel x mengalami peningkatan mengakibatkan variabel y mengalami penurunan dan sebaliknya.
           
a.       Untuk mengetahui distribusi frekuensi tentang Hubungan SQ dengan Kenakalan Remaja

P =   x 100%

Keterangan:
P = Persentase
F = Frekuensi
N = Jumlah subyek atau sempel[39]

Pada penelitian ini mengenai Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual Terhadap Kenakalan Remaja di SMA Negeri 7 Kota Kediri menggunakan statistik parametrik Product Moment. Karena teknik korelasi ini digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan hipotesis hubungan dua variabel bila data kedua variabel berbentuk interval atau rasio. Dan karena Product Moment termasuk parametrik, maka harus memenuhi uji asumsi yaitu kedua variabel itu berdistribusi normal. Setidaknya ada dua rumus product moment yaitu:[40]
Dimana:
   =  Korelasi antara variable x dan y
X     = ( Xi – X )
Y     = (Yi – Y )
Rumus terakhir digunakan bila sekaligus akan menghitung persamaan regresi.
=

I.       OUTLINE PENELITIAN
Dalam penulisan skripsi ini, dibagi menjadi empat bab dengan sistematika pembahasannya sebagai berikut :[41]
BAB I :           PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penelitian
D.     Kegunaan Penelitian
E.     Hipotesis Penelitian
F.     Asumsi Penelitian
G.    Penegasan Istilah
BAB II:           LANDASAN TEORI
BAB III :        METODE PENELITIAN
A.    Rancangan Penelitian
B.     Populasi dan Sampel
C.     Pengumpulan Data
D.    Instrumen Penelitian
E.     Analisis Data
BAB IV :        HASIL PENELITIAN
A.    Gambaran Umum Objek Penelitian
B.     Deskripsi Data
C.     Pengujian Hipotesis
BAB V :         PEMBAHASAN
            BAB VI :        PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran



[1] Dwi Sunar P, Edisi Lengakap TES IQ EQ & SQ, (Yogjakarta: FlashBook, 2010),  263.
[2] Danah Zohar dan Ian Marshall, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integratik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, (Bandung: Mizan, 2011), 80.
[3] Jokie M.S. Siahaan,  Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi, (Jakarta: PT Indeks, 2009), 99-100
[4] B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, (Bandung: Alumni 1984), 43.
[5] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), 113.
[6] Sudarsono, Kenakalan Remaja Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),14
[7] Kartini Kartono, Patologi Sosial jilid ii Kenakalan Remaja, ( Jakarta: Rajawali Pres, 2010), 7.
[8] ibid, 110.
[9] Peter Benson, Spirituality and the Adolescent Journey Journal, Volume 5, 1997.
[10] Triantoro Safaria, Spiritual Intellegence (Metode Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 6-8.
[11] Jokie M.S. Siahaan,  Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi, 43.
[12]ibid, 14.
[13] Robyn Mapp, The Role of Religiosiy and Spirituality in Juvenile Deliquency, Thesis Economic, The College of New Jersey, 2009.
[14] Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, 48-49.
[15] M Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi, (Jakarta: Hikmah, 2003), 99.
[16] John W. Creswell,  Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),79.
[17] Danah Zohar dan Ian Marshall, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integratik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, (Bandung: Mizan, 2011), 8.
[18] Abdul Wahab Hasan,  SQ Nabi Apikasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual Rasullah di Masa kini, (Yogyakarta: IRCiSoD), 27.
[19] Marsha Sinetar, Spiritual Intellegence:Belajar dari Anak yang Mempunyai Kesadaran Dini, (Jakarta: Elex Media Komputindo), 17.
[20] Kahlil Khavari, Spiritual Intellegence Practical Guide to Personal Happiness, (Canada: White Moutain), 23.
[21] Danah Zohar dan Ian Marshall, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integratik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, 14.
[22] Ied's_phynot, Berbagi Ilmu itu Sangat Menyenangkan  Kecerdasan spiritual (SQ), http://Blogspot.com. Ied's_phynot, diakses pada tanggal 4 Agustus 2014.
[23] Sudarsono, Kenakalan Remaja Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi, 14.
[24] Bimo Walgito, Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency), 2.
[25] B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, 43.
[26] Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, 6.
[27] Soekanto Soerjono, Sosiologi Penyimpangan, (Jakarta: Rajawali, 1988), 5.
[28] Kartini Kartono, Patologi Sosial jilid ii, 110.
[29] Ibid, 26-27.
[30] Triantoro Safaria,  Spiritual Intellegence (Metode Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak), 8-11.
[31]Nanang Martono,  Metode Penelitian Kuantitatif Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), 63.
[32] Purwanto, Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 164.
[33] Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 271.
[34] Sugiyono, Statistik untuk Penelitian, (Bandung: CV Alfabeta, 2009), 72.
[35] Yatim Riyanto, Metodologi Penelitian Ilmiah, (Surabaya: SIC, 2001), 63.
[36] Ali Anwar, Statistik Untuk Penelitian Pendidikan dan Aplikasinya Dengan SPSS dan Excel, (Kediri: IAIT Press, 2009), 113.
[37] Sugiono, Statistik Untuk Penelitian, 199.
[38]Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan (Bandung:PT RefikaAditama, 2012), 216.
[39] Anas Sudiono, Pengantar Statistik Pendidikan,  (Jakarta: CV Rajawali, 1991), 40.
[40] Ali Anwar, Statistik Untuk Penelitian Pendidikan dan Aplikasinya Dengan SPSS dan Excel, 103-104.
[41] Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Kediri: STAIN Kediri, 2012.