Jumat, 25 September 2015

Aliran Eksperimentalisme

A.PENDAHULUAN
            Sebagai manusia yang hidup di dunia maka manusia bisa dikatakan sebagai makhluk yang dinamis, aktif, dan kreatif. Karena kehidupan manusia tidak ada hentinya selalu menuju ke satu dan seterusnya tanpa henti dengan pengalaman-pengalaman yang dialami dalam suatu apapun dan yang di lakukan oleh panca indera. Itu semua diterapkan didunia , apalagi mengenai pendidikan. Secara tidak langsung didunia pendidikan tiap siswa tidak hanya menerima pengetahuan dari apa yang diberikan oleh pendidik.[1]
            Semua yang dialami oleh tiap siswa tidak sama karena mereka punya pengetahuan berbeda-beda dan pengalaman yang berbeda pula. Disinilah terkait dengan aliran Eksperimentalisme yang menganggap Manusia-manusia eksperimentalis adalah manusia-manusia yang optimis bahwa dia dapat membentuk kualitas dirinya memalui pembiasaan berpikir kreatif berdasarkan pengalaman-pengalaman.
            Dalam pendidikan tidak hanya teori saja melainkan siswa atau peserta didik dihadapkan dengan apa yang ada didunia nyata dan apa yang ada dilingkunagn mereka. Dengan begitu peserta didik pemikiranya tidak hanya dalam pikirannya semata yang penuh dengan imajinasi saja. Sehingga peserta didik dapat merealisasikan ke lingkungan dan masyarakat yang ada disekitarnya.[2]
       Agar lebih jelasnya saya akan menguraikan beberapa ulasan mengenai Aliran Eksperimentalisme dalam dunia pendidikan agar dapat diketahui dan dipahami oleh pembaca.

B. PEMBAHASAN
Seperti halnya eksperimentalisme, kelompok, eksperimentalisme juga memandang manusia sebagai makhluk yang dinamis aktif dan kreatif. Manusia-manusia [3]eksperimentalis adalah manusia-manusia yang optimis bahwa dia dapat membentuk kualitas dirinya memalui pembiasaan berpikir kreatif berdasarkan pengalaman-pengalaman.3 Aliran ini selau pula dihubungkan dengan aliran pragmatis, bahkan sering pula dikacaukan antara keduanya. Pragmantisme dikatakan sebagai instrumentalisme karena pemikirannya yang mengandaikan sesuatu dengan alat yang mengharuskan seseorang atau sekelompok orang untuk selalu berbuat. Kehidupan tidak memiliki makna finis.
Ketika suatu tujuan telah tercapai dan suatu kebutuhan telah dipenuhi, maka hal ini tidak sampai di situ saja, tetapi menjadi instrumen bagi penemuan dan pengujian selanjutnya. Proses kehidupan tanpa akhir, karena peraihan tujuan pertama adalah untuk diteruskan pada tujuan ke dua, tujuan ke dua untuk tujuan ke tiga dan seterusnya tanpa tanda berhenti. Begitu juga eksperimentalisme dikatakan sebagai pragmatisme karena pandangannya yang mengatakan bahwa realitas yang nyata adalah perubahan dan hanya dapat diketahui melalui pengalaman praktis. Jadi  keduanya sama-sama menekankan bahwa yang riil adalah segala sesuatu yang dapat dialami dan dialami panca indra. Realitas adalah interaksi manusia dengan lingkungannya. Sesuatu dikatakan benar apabila dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan praktis manusia.[4]
Aliran eksperimentalis berpendapat, bahwa hidup adalah perubahan dan perubahan terjadi melalui pemikiran cerdas manusia dalam menyelesaikan berbagai rintangan dan problem yang ada. Penyelesaian problem sangat tergantung pada penyesuaian diri dengan realitas dalam pengalaman-pengalaman. Kendatipun demikian kelompok eksperimentalis beranggapan, bahwa pendidikan bukan semata-mata memberikan materi pembelaran yang dapat membawa subjek didik ke arah kemampuan menyesuiakan diri dengan situasi kondisi kehidipan nyata saja, tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana agar subjek didik itu meningkatkan kualitas melalui upaya memperkuat dan meningkatkan pengalaman-pengalaman moral.[5] Para eksperimentalis menyadari, bahwa peranan rasio manusia mesti menjadi perhatian dalam pengembangan sumber daya manusia, kerena fungsinya yang dapat menhembatani relasi individu-individu dengan lingkungannya.
Kaum eksperimentalis memandang, bahwa pengembangan ruhaniah menusa, termasuk akal, merupakan modal dasar manusia dalam memberikan interprestasi-interprestasi dan seleksi terhadap berbagai realitas yang dihadapinya di dalam kehidupan, sehingga dengan demikian ia pun bergerak ke arah peningkatan dan penyempurnaan kualitas dirinya. Aliran ini menjadikan manusia sebagai  centre of excellence, Manusia di sini tidak berarti pikiran umat manusia, tetapi dalam konteksnya yang individu.[6]
Berdasarkan tesis di atas, maka eksperimentalisme memandang bahwa belajar mestilah dimaknai dengan memberikan latihan kecerdasan dalam menghadapi berbagai tantangan dan persoalan kehidupan, sehingga subjek didik terbiasa aktif mengolah berbagai data dan informasi untuk memecahkan problem hidupnya. Dengan demikian, pendekatan yang paling cocok untuk mengembangkan sumber daya manusia adalah dengan memberikan latihan berpikir ilmiah dalam rangka memecahkan berbagai problem (problem solvong). Tugas guru bukanlah transfer of learning tetapi lebih pada mengajak subjek didik memecahkan problem sosial.[7]
Menginat eksperimentalisme menjadikan manusa subjektif-inividualistis sebagai ukuran segala sesuatu, maka dalam pelaksanaan proses kependidikan sebagai pusat aktivitas pengembangan sumber daya manusia, maka sama dengan eksistensialisme dan rasionalisme, aliran ini pun juga menjunjung tinggi asas kebebasan dalam setiap langkah kegiatannya, termasuk dalam bidang pendidikan.[8]
Pendidikan sekolah dalam hal ini mesti diarahkan untuk menyiapkan subjek didik mampu menyesuaikan diri dan bereksperimen dalam masyaraat, sehingga memunculkan ide baru yang terus dikembangkan menuju ide lain yang lebih baik dan sempurna dari sebelumnya dan seterusnya sampai tanpa batas. Menurut Imam [9]Barnadib, tokoh-tokoh pendidi yang dekat dengan gagasan ini anata lain E.L. Thorndike G. Stanley Hall, dan Florence B. Stratemeyer.9
Mengingat eksperimentalisme/pragmatisme memandang kehidupan dengan konstruksi pengalaman-pengalaman dari masa lalu ke sekarang dan sekarang ke yang akan datang, maka bagi aliran ini pendidikan adalah proses rekonstruksi pengalaman-pengalaman subjek didik. Kehidupan ini tidak lain adalah perbaikan-perbaikan kualitas, sehingga ketika tidak ada perbaikan dan perubahan sama artinya tidak ada kehidupan. Pendidikan dalam hal ini dapat dimaknai sebagai rekonstruksi sosial, sekolah adalah masyarakat kecil dan pendidikan menyiapkan mereka agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.[10]

C. KESIMPULAN
            Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan mengenai Aliran Ekperimentalisne dalam Filsafat Pendidikan, bahwa Aliran Eksperimentalisme juga disebut dengan aliran Pragmatisme. Yang dimana pandangannya yang mengatakan bahwa realitas yang nyata adalah perubahan dan hanya dapat diketahui melalui pengalaman praktis. Jadi  keduanya sama-sama menekankan bahwa yang riil adalah segala sesuatu yang dapat dialami dan dialami oleh panca indra.
            eksperimentalisme memandang bahwa belajar mestilah dimaknai dengan memberikan latihan kecerdasan dalam menghadapi berbagai tantangan dan persoalan kehidupan, sehingga subjek didik terbiasa aktif mengolah berbagai data dan informasi untuk memecahkan problem hidupnya. sehingga memunculkan ide baru yang terus dikembangkan menuju ide lain yang lebih baik dan sempurna dari sebelumnya dan seterusnya sampai tanpa batas.

DAFTAR PUSTAKA
Muhmidayeli. Filsafat pendidikan. PT Refika Aditama. Bandung: 2011.
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. Filsafat Umum. Pustaka Setia. Bandung: 1997.







[1] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), 138.
[2] Ibid, hlm 139.
[3]  Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), 139
[4] Ibid, hlm 140.
[5] Ahmad Syadali, dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung:Pustaka Setia, 1997), 124.
[6] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), 139.
[7] ibid, hlm 140.
[8] Ibid, hlm 140.
8 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), 141-142
[10] Ahmad Syadali, dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung:Pustaka Setia, 1997), 125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar