A.PENDAHULUAN
Sebagai
manusia yang hidup di dunia maka manusia bisa dikatakan sebagai makhluk yang
dinamis, aktif, dan kreatif. Karena kehidupan manusia tidak ada hentinya selalu
menuju ke satu dan seterusnya tanpa henti dengan pengalaman-pengalaman yang
dialami dalam suatu apapun dan yang di lakukan oleh panca indera. Itu semua
diterapkan didunia , apalagi mengenai pendidikan. Secara tidak langsung didunia
pendidikan tiap siswa tidak hanya menerima pengetahuan dari apa yang diberikan
oleh pendidik.[1]
Semua
yang dialami oleh tiap siswa tidak sama karena mereka punya pengetahuan
berbeda-beda dan pengalaman yang berbeda pula. Disinilah terkait dengan aliran
Eksperimentalisme yang menganggap Manusia-manusia eksperimentalis adalah
manusia-manusia yang optimis bahwa dia dapat membentuk kualitas dirinya memalui
pembiasaan berpikir kreatif berdasarkan pengalaman-pengalaman.
Dalam
pendidikan tidak hanya teori saja melainkan siswa atau peserta didik dihadapkan
dengan apa yang ada didunia nyata dan apa yang ada dilingkunagn mereka. Dengan
begitu peserta didik pemikiranya tidak hanya dalam pikirannya semata yang penuh
dengan imajinasi saja. Sehingga peserta didik dapat merealisasikan ke lingkungan
dan masyarakat yang ada disekitarnya.[2]
Agar
lebih jelasnya saya akan menguraikan beberapa ulasan mengenai Aliran
Eksperimentalisme dalam dunia pendidikan agar dapat diketahui dan dipahami oleh
pembaca.
B. PEMBAHASAN
Seperti halnya eksperimentalisme, kelompok,
eksperimentalisme juga memandang manusia sebagai makhluk yang dinamis aktif dan
kreatif. Manusia-manusia [3]eksperimentalis
adalah manusia-manusia yang optimis bahwa dia dapat membentuk kualitas dirinya
memalui pembiasaan berpikir kreatif berdasarkan pengalaman-pengalaman.3 Aliran ini selau pula dihubungkan dengan aliran
pragmatis, bahkan sering pula dikacaukan antara keduanya. Pragmantisme
dikatakan sebagai instrumentalisme karena pemikirannya yang mengandaikan
sesuatu dengan alat yang mengharuskan seseorang atau sekelompok orang untuk
selalu berbuat. Kehidupan tidak memiliki makna finis.
Ketika suatu tujuan telah tercapai dan
suatu kebutuhan telah dipenuhi, maka hal ini tidak sampai di situ saja, tetapi
menjadi instrumen bagi penemuan dan pengujian selanjutnya. Proses kehidupan
tanpa akhir, karena peraihan tujuan pertama adalah untuk diteruskan pada tujuan
ke dua, tujuan ke dua untuk tujuan ke tiga dan seterusnya tanpa tanda berhenti.
Begitu juga eksperimentalisme dikatakan sebagai pragmatisme karena pandangannya
yang mengatakan bahwa realitas yang nyata adalah perubahan dan hanya dapat
diketahui melalui pengalaman praktis. Jadi
keduanya sama-sama menekankan bahwa yang riil adalah segala sesuatu yang
dapat dialami dan dialami panca indra. Realitas adalah interaksi manusia dengan
lingkungannya. Sesuatu dikatakan benar apabila dapat dibuktikan secara nyata dalam
kehidupan praktis manusia.[4]
Aliran eksperimentalis berpendapat,
bahwa hidup adalah perubahan dan perubahan terjadi melalui pemikiran cerdas
manusia dalam menyelesaikan berbagai rintangan dan problem yang ada.
Penyelesaian problem sangat tergantung pada penyesuaian diri dengan realitas
dalam pengalaman-pengalaman. Kendatipun demikian kelompok eksperimentalis
beranggapan, bahwa pendidikan bukan semata-mata memberikan materi pembelaran
yang dapat membawa subjek didik ke arah kemampuan menyesuiakan diri dengan
situasi kondisi kehidipan nyata saja, tetapi lebih penting dari itu adalah
bagaimana agar subjek didik itu meningkatkan kualitas melalui upaya memperkuat
dan meningkatkan pengalaman-pengalaman moral.[5] Para eksperimentalis menyadari, bahwa peranan rasio
manusia mesti menjadi perhatian dalam pengembangan sumber daya manusia, kerena
fungsinya yang dapat menhembatani relasi individu-individu dengan
lingkungannya.
Kaum eksperimentalis memandang, bahwa
pengembangan ruhaniah menusa, termasuk akal, merupakan modal dasar manusia
dalam memberikan interprestasi-interprestasi dan seleksi terhadap berbagai
realitas yang dihadapinya di dalam kehidupan, sehingga dengan demikian ia pun
bergerak ke arah peningkatan dan penyempurnaan kualitas dirinya. Aliran ini
menjadikan manusia sebagai centre of excellence, Manusia di sini
tidak berarti pikiran umat manusia, tetapi dalam konteksnya yang individu.[6]
Berdasarkan tesis di atas, maka
eksperimentalisme memandang bahwa belajar mestilah dimaknai dengan memberikan
latihan kecerdasan dalam menghadapi berbagai tantangan dan persoalan kehidupan,
sehingga subjek didik terbiasa aktif mengolah berbagai data dan informasi untuk
memecahkan problem hidupnya. Dengan demikian, pendekatan yang paling cocok
untuk mengembangkan sumber daya manusia adalah dengan memberikan latihan
berpikir ilmiah dalam rangka memecahkan berbagai problem (problem solvong).
Tugas guru bukanlah transfer of learning tetapi
lebih pada mengajak subjek didik memecahkan problem sosial.[7]
Menginat eksperimentalisme menjadikan
manusa subjektif-inividualistis sebagai ukuran segala sesuatu, maka dalam
pelaksanaan proses kependidikan sebagai pusat aktivitas pengembangan sumber
daya manusia, maka sama dengan eksistensialisme dan rasionalisme, aliran ini
pun juga menjunjung tinggi asas kebebasan dalam setiap langkah kegiatannya,
termasuk dalam bidang pendidikan.[8]
Pendidikan sekolah dalam hal ini mesti
diarahkan untuk menyiapkan subjek didik mampu menyesuaikan diri dan
bereksperimen dalam masyaraat, sehingga memunculkan ide baru yang terus
dikembangkan menuju ide lain yang lebih baik dan sempurna dari sebelumnya dan
seterusnya sampai tanpa batas. Menurut Imam
[9]Barnadib,
tokoh-tokoh pendidi yang dekat dengan gagasan ini anata lain E.L. Thorndike G. Stanley Hall, dan Florence B. Stratemeyer.9
Mengingat eksperimentalisme/pragmatisme
memandang kehidupan dengan konstruksi pengalaman-pengalaman dari masa lalu ke
sekarang dan sekarang ke yang akan datang, maka bagi aliran ini pendidikan
adalah proses rekonstruksi pengalaman-pengalaman subjek didik. Kehidupan ini
tidak lain adalah perbaikan-perbaikan kualitas, sehingga ketika tidak ada
perbaikan dan perubahan sama artinya tidak ada kehidupan. Pendidikan dalam hal
ini dapat dimaknai sebagai rekonstruksi sosial, sekolah adalah masyarakat kecil
dan pendidikan menyiapkan mereka agar mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan.[10]
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan mengenai Aliran Ekperimentalisne dalam Filsafat Pendidikan, bahwa
Aliran Eksperimentalisme juga disebut dengan aliran Pragmatisme. Yang dimana pandangannya yang mengatakan bahwa realitas yang
nyata adalah perubahan dan hanya dapat diketahui melalui pengalaman praktis.
Jadi keduanya sama-sama menekankan bahwa
yang riil adalah segala sesuatu yang dapat dialami dan dialami oleh panca
indra.
eksperimentalisme
memandang bahwa belajar mestilah dimaknai dengan memberikan latihan kecerdasan
dalam menghadapi berbagai tantangan dan persoalan kehidupan, sehingga subjek
didik terbiasa aktif mengolah berbagai data dan informasi untuk memecahkan
problem hidupnya. sehingga memunculkan ide baru yang terus dikembangkan menuju
ide lain yang lebih baik dan sempurna dari sebelumnya dan seterusnya sampai
tanpa batas.
DAFTAR PUSTAKA
Muhmidayeli. Filsafat
pendidikan. PT Refika Aditama. Bandung: 2011.
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. Filsafat Umum. Pustaka Setia. Bandung: 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar